Google dan Meta Wajib Bayar Konten? Yuk Kenalan Sama Perpres Publisher Rights

Google, Apple, dan Meta
Sumber :
  • pexels

VIVATechno – Bayangkan jika semua berita yang Anda baca di media sosial, dari headline politik hingga investigasi mendalam, tak pernah memberi keuntungan pada media yang membuatnya. Selama ini, itulah kenyataan yang dihadapi banyak media lokal.

Jangan Asal Beli, Inilah Perbedaan Chromebook dengan Laptop

Namun, situasi itu resmi berubah. Pemerintah Indonesia akhirnya mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Platform Digital Mendukung Jurnalisme Berkualitas, atau yang dikenal dengan Publisher Rights.

Regulasi ini mewajibkan raksasa digital seperti Google dan Meta untuk memberikan kompensasi yang adil atas konten berita yang mereka tampilkan di platform mereka. Ini menjadi langkah penting dalam melindungi ekosistem media lokal dari monopoli informasi oleh algoritma dan clickbait. Tujuan utama regulasi ini adalah untuk memastikan jurnalisme berkualitas tetap berlanjut dan untuk melindungi ekosistem bisnis media di Indonesia. Ini mencerminkan tren global yang sudah lebih dulu diterapkan di Australia, Kanada, dan Uni Eropa.

Review Xiaomi TV A Pro 43 Inch 4K Smart TV Xiaomi Terbaru

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, menyebut kebijakan ini sebagai tonggak bersejarah untuk menciptakan industri media yang adil dan berkelanjutan. “Selama ini, platform digital diuntungkan dari berita yang diproduksi media tanpa memberi kontribusi yang adil. Perpres ini memastikan mereka tidak bisa lagi semena-mena,” ujar Nezar dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (10/3/2025).

Menurut Nezar, pedoman teknis pelaksanaan aturan ini sedang difinalisasi setelah melalui diskusi intensif sejak Oktober 2024. Pemerintah juga menyiapkan mekanisme sanksi bagi platform digital yang tak patuh. “Kami pastikan regulasi ini bukan hanya sekadar aturan di atas kertas, tetapi benar-benar melindungi media dari ketimpangan digital,” tegasnya.

Android 16 Hadir! Fitur Pintar dan Sistem Keamanan Diklaim Makin Canggih

Mengapa Aturan Ini Dibutuhkan?

1. Ketimpangan Pendapatan Digital

Menurut data Dewan Pers sepanjang 2024 bahwasanya 60 persen lalu lintas berita daring di Indonesia berasal dari platform agregator dan media sosial, namun hanya kisaran 10 persen pendapatan iklan digital masuk ke media lokal. Sebaliknya, platform global meraup miliaran dari konten tersebut.

2. Ancaman terhadap Jurnalisme Berkualitas

Tanpa pendanaan yang adil, media terpaksa memangkas redaksi dan menurunkan kualitas berita. Ini membuka ruang lebih besar bagi hoaks dan konten viral tak berbobot.

3. Dominasi Algoritma

Platform sering memprioritaskan konten viral, bukan informatif. Publisher Rights diharapkan menggeser orientasi ini agar konten jurnalistik berkualitas kembali mendapat tempat utama.

 

Contoh Global yang Menginspirasi

Australia: News Media Bargaining Code sukses membuat lebih dari 30 media menjalin kesepakatan konten dengan Google dan Meta.

Kanada: Online News Act mewajibkan kompensasi konten atau ancaman sanksi hukum.

Uni Eropa: Digital Markets Act memperluas hak cipta digital untuk perlindungan jurnalisme.

 

Tantangan Implementasi di Indonesia

  • Belum jelasnya mekanisme kompensasi dan transparansi nilai pembayaran.
  • Ketimpangan kekuatan negosiasi antara media besar dan media lokal kecil.
  • Potensi resistensi dari platform digital, seperti pemblokiran tautan yang sempat terjadi di Kanada dan Australia.

Namun demikian, Nezar Patria menegaskan bahwa pemerintah siap mengawal implementasi dan memastikan tidak ada dominasi sepihak. “Kini, bola ada di tangan raksasa teknologi akan patuh atau tetap bermain curang?” tutup Nezar.

 

Menuju Masa Depan Media yang Berdaya

Pemerintah dan media lokal diharapkan bisa bersinergi dengan:

  • Menyusun standar pembagian pendapatan yang adil.
  • Mendorong transparansi algoritma.
  • Menghadirkan lembaga arbitrase independen sebagai penengah dalam negosiasi.

Demikian pemberlakuan Perpres 32/2024 yang mana regulasi pembayaran konten bukanlah bentuk represi digital, melainkan usaha untuk menyeimbangkan ekosistem informasi di tengah dominasi platform teknologi raksasa. Jika diterapkan secara transparan dan kolaboratif, kebijakan ini dapat menjadi pijakan penting menuju masa depan media Indonesia yang mandiri, bermartabat, dan berdaya saing global.(*)