Membatasi Media Sosial untuk Anak: Perlindungan atau Pembatasan Ekspresi?
- Pixabay
VIVATechno – Pada awal 2025, isu pembatasan usia pengguna media sosial kembali mencuat setelah pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa memperketat aturan batas usia minimum menjadi 16 tahun, dari sebelumnya 13 tahun. Isu ini juga menjadi perbincangan hangat di Indonesia, terlebih setelah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong revisi kebijakan serupa.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi dianggap melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial, di sisi lain dikhawatirkan membatasi ruang ekspresi dan eksplorasi digital generasi muda.
Mengapa Pembatasan Ini Didorong?
Menurut data UNICEF (2023), lebih dari 80 persen anak usia 10–17 tahun di Asia Tenggara sudah memiliki akses ke media sosial. Di Indonesia sendiri, riset dari We Are Social dan Kepios (2024) menunjukkan bahwa 65,4 persen pengguna TikTok dan Instagram adalah remaja usia 13–24 tahun.
Beberapa alasan utama pemerintah dan lembaga perlindungan anak mendorong pembatasan usia meliputi:
Risiko gangguan kesehatan mental: Studi dari American Psychological Association (APA, 2023) mengungkap bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dikaitkan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, dan rendahnya harga diri pada remaja.
Paparan konten tidak layak: Termasuk kekerasan, pornografi, dan disinformasi.
Cyberbullying dan eksploitasi digital: Data KPAI (2024) mencatat 4.600 kasus kekerasan daring terhadap anak dalam dua tahun terakhir.
Dampak Positif dari Pembatasan Usia
1. Melindungi perkembangan kognitif dan emosional anak
Anak-anak di bawah usia 16 tahun masih berada pada tahap perkembangan otak yang sangat rentan terhadap pengaruh eksternal.
Pembatasan memungkinkan mereka fokus pada interaksi sosial yang sehat dan pendidikan formal.
2. Mendorong peran orang tua dalam literasi digital
Dengan batasan usia yang jelas, kontrol dan pendampingan orang tua menjadi lebih relevan.
Edukasi tentang dunia digital bisa difokuskan pada usia yang tepat.
3. Mencegah ketergantungan sejak dini
Studi oleh Common Sense Media (2023) menyebutkan bahwa *anak yang aktif di media sosial sejak usia di bawah 13 tahun cenderung menghabiskan waktu hingga 5 jam per hari di platform digital.
Namun, ada juga sejumlah konsekuensi yang harus dipertimbangkan:
1. Kreativitas dan ruang ekspresi digital bisa terhambat
Banyak anak dan remaja menggunakan media sosial untuk menyalurkan bakat dan keterampilan, seperti menulis, desain, hingga berbicara di depan publik.
2. Anak tetap bisa mengakses dengan memalsukan usia
Tanpa sistem verifikasi identitas digital yang kuat, aturan bisa dengan mudah dilanggar.
3. Ketimpangan akses edukasi digital
Platform media sosial juga menjadi sarana belajar dan informasi. Membatasi akses bisa berarti menghambat literasi digital.
Alih-alih hanya mengandalkan pembatasan usia, para ahli menyarankan pendekatan ganda:
- Penerapan teknologi verifikasi umur yang akurat (age verification AI).
- Kurikulum literasi digital di sekolah dasar dan menengah.
- Peningkatan kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan orang tua.
Pembatasan usia pengguna media sosial memang menjadi langkah awal untuk menjaga kesehatan mental dan keamanan digital anak-anak. Namun, kebijakan ini harus diiringi dengan pendidikan digital yang komprehensif dan pendekatan kolaboratif. Dengan begitu, generasi muda Indonesia bisa tumbuh sebagai pengguna digital yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab.(*)